BLANTERVIO103

Kekuasaan tanpa Legitimasi

Kekuasaan tanpa Legitimasi
Rabu, 24 April 2019
Oleh: DR Mursalim Nohong, SE, MSi
KPS Magister Keuangan Daerah FEB UNHAS


Suksesi dalam segala bentuk dan peristilahan merupakan sistem dan proses untuk menemukan kembali pemimpin yang terbaik. Setiap yang terpilih atau dipilih akan diposisikan sebagai pihak yang terbaik meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kebutuhan dalam konteks menjawab perubahan dan tantangan lingkungan organisasi termasuk organisasi pemerintahan. Tidak jarang dalam sebuah ajang kompetisi dan suksesi kepemimpinan dilahirkan seorang pemimpin berdasarkan kemampuan dan kekuatan alias power atas nama suara terbanyak tetapi minim legitimasi pada awalnya.

Setiap pemimpin membutuhkan power (kekuatan) dan legitimasi untuk dapat efektif dalam menjalankan roda organisasi. Power atau kekuatan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi hasil dan mencapai tujuan. Seorang pemimpin mampu mempengaruhi lingkungannya di luar kendali secara langsung dan tidak harus melalui upaya sendiri. Sederhananya, memiliki kekuatan berarti memiliki apa pun untuk menyelesaikan sesuatu. Sifat kekuatan sedemikian rupa sehingga menarik bagi orang yang ingin dan mau melakukan apa yang diperlukan untuk mendapatkannya. Hanya saja istilah power dalam beberapa kajian dijelaskan sebagai seuatu yang bersifat personel. Misalnya pendapatan Max Weber (1992) bahwa power merupakan kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan ini.

Pengertian kekuasaan Barbara Goodwin (2003) adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan, dan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Jika saja semua pelaksanaan kekuasaan didasarkan pada definisi para ahli tersebut, tentu saja masyarakat akan kehilangan “kemerdekaan” dalam segala bentuk. Kehidupan bernegara dan berbangsa akan sia-sia. Intervensi merajalela di mana-mana. Masyarakat hidup dalam perasaan ketakutan. Kreativitas menjadi terpasung dan akan berpotensi menggerus seluruh potensi dan energi positif yang sesungguhnya menjadi modal dasar dalam mengembangkan sebuah komunitas. Efek jangka panjangnya, masyarakat akan apatis terhadap setiap persoalan yang dihadapi. Dalam organisasi perusahaan, konflik kepentingan menjadi nyata bahkan budaya asal bapak senang kembali mencuat ke permukaan. Kinerja yang muncul hanya sebatas pengungkapan capaian secara statistik tanpa mendasarkannya pada perencanaan yang telah disusun. Kepemimpinan organisasi berorientasi pada otoritarian. Kekuasaan tidaklah selamanya negatif ketika dikelola dengan baik berdasarkan kepentingan organisasi. Kekuasaan justru akan menjadi modal kuat untuk mengembangkan sebuah organisasi. Dalam konsep kenegaraan, wilayah kekuasaan semestinya adalah tempat pijakan pasti dalam konsep perbaikan.

Kekuasaan menjadi penting untuk membentuk aturan-aturan dalam fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat umum. Kekuasaan yang didukung oleh kelompok mayoritas tentu akan lebih signifikan dan terlegetimasi dalam menjalankan kekuasaan. Sebaliknya kekuasaan yang tidak mendapat dukungan mayoritas kekuasaan akan mengalami hambatan dalam menjalankan kekuasaan. Kemudian muncullah gagasan-gagasan kekuasaan sebagai alasan nyata dalam mempertahankan kekuasaan baik itu secara individu atau kelompok, sehingga menjawab pertanyaan kenapa seseorang layak untuk diberi kekuasaan oleh rakyat.
Terkait dengan hukum yang berlaku, maka kekuasaan yang terkelola berdasarkan aturan menjadi bagian penting dalam membagun legitimasi. Legitimasi adalah melakukan sesuatu sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum menjadi kode perilaku yang diterima dan diputuskan oleh mayoritas atau otoritas dengan suara terbanyak.

Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik. Legitimasi, kekuasaan dan kewenangan merupakan tiga unsur yang tidak terpisahkan dalam sebuah organisasi (triple bottom line organizations) termasuk organisasi negara. Legitimasi merupakan bagian dari kewenangan, dan kewenangan bagian dari kekuasaan. Artinya, legitimasi, kekuasaan dan kewenangan saling berhubungan dalam membangun suatu fondasi politik (policy) di suatu organisasi seperti negara atau pemerintahan. Legitimasi, kekuasaan dan kewenangan menjadi kunci suksesnya pemerintahan yang dijalankan. Legitimasi sendiri mengarah pada aspek bottom up, karena legitimasi berasal atau diberikan oleh masyarakat terhadap pemerintah atau pemimpinnya berupa pengakuan kedaulatannya. Dengan adanya legitimasi, masyarakat akan mau tunduk secara moral karena telah mengakui, mempercayai dan memberikan amanatnya pada para pemimpin politiknya. Pada situasi tersebut lahir sebuah bentuk legitimasi yang oleh Max Weber disebut dengan legitimasi kekuasaan yang terbagi menjadi tiga yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik dan otoritas legal rasional.

Otoritas tradisional merupakan legitimasi yang didapat dari pengakuan masa lalu atau sumber dan tradisi yang sudah turun menurun ada dalam masyarakat dan lebih jelasnya sudah membudaya dan melekat dalam tatanan masyarakat. Legitimasi ini secara perlahan akan teralienasi dengan perubahan sosial apalagi jika tidak dilakukan sejumlah penyesuaian termasuk kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, organisasi perusahaan keluarga melakukan adaptasi dengan merekrut orang luar menjadi bagian dari manajemen. Demikian pula dengan praktik pemerintahan di lingkup desa atau kampung secara perlahan mulai dimasuki orang diluar lingkungan keluarga.

Otoritas karismatik, dimana legitimasi kekuasaan diberikan kepada karakter pribadi baik pemimpin yang dicintai mayoritas rakyat yang sesungguhnya dan tindakannya mampu memberi solusi dan inspirasi bagi organisasi dan sumberdayanya. Kepercayaan masyarakat atau sumberdaya organisasi yang tinggi menjadi modal utama dalam menggerakkan organisasi. Kemampuan meyakinkan orang atau pihak lain yang kemudian menjadi bagian dari organisasinya (seperti masyarakat terhadap negara) dalam bentuk kesesuaian perkataan dengan tindakan. Menyajikan aksi nyata ketimbang fantasi semu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan peran yang diberikan. Kekalahan seorang incumbant dari rival barunya dalam sebuah suksesi karena ketidakmampuannya dalam merealisasikan janji atas legitimasi yang telah diberikan pada awalnya. Rakyat sesungguhnya adalah orang yang memang ada secara fisik dalam sebuah komunitas. Dalam beberapa kali pemilihan di Indonesia, permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) seolah menjadi bagian dari proses panjang menuju demokrasi yang sesungguhnya. Kesemrawutan DPT menjadi peluang pihak tertentu sedangkan bagi pihak justru menjadi ancaman. Pada titik ini tentu penguasa akan menjadi pihak yang banyak mendapatkan keuntungan.

Otoritas legal rasional, dimana legetimasi kekuasaan didasarkan pada legalitas aturan normatif yang dibuat oleh wakil rakyat. Legetimasi kekuasaan itu berbentuk undang-undang yang mengatur tata kelola negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat.  Akan tetapi legitimasi jenis ketiga ini seringkali dilandasi oleh kepentingan. Banyak peraturan perundang-undangan yang pernah ada dilahirkan dari sebuah proses voting atas nama demokrasi sehingga perkembangan dan perubahan lingkungan menjadi tempat untuk menguji daya tahan peraturan dimaksud.

Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektifkah legitimasi kekuasaan itu dapat membangun sebuah pemerintahan yang baik dalam konteks pemerintahan. Cita-cita kekuasaan yang sering disebut sebagai clean and good goverment sepertinya belum dapat tercapai jika pola kekuasaan didapati dari hal-hal yang kotor, dan mencederai legitimasi kekuasaan ini terjadi sejak awal pemimpin akan dipilih.

Jika sebuah kepemimpinan diraih dengan cara-cara kotor maka teori Weber akan terbalik menjadi fenomena unlegetimasi kekuasaan. Hal seperti ini dapat terjadi jika kepemimpinan didapat dengan merusak nilai-nilai tradisi masyarakat seperti kejujuran, keterbukaan, gotong royong dikotori dengan politik uang, janji palsu dan adu domba akan menimbulkan resistensi masyarakat yang kacau akibat rusaknya nilai tradisi masyarakat. Dalam hal ini otoritas tradisional sebagai legitimasi kekuasaan pertama dalam pandangan Weber telah dilanggar.

Kedua jika kepemimpinan diraih dengan pendekatan pencitraan, maka di kemudian hari rakyat akan mengalami kekecewaan karena kepemimpinan tersebut adalah kamuflase semata. Dalam hal ini ongkos politik akan semakin lebih mahal karena harus menghabiskan anggaran untuk media pencitraan yang pada akhirnya akan ditanggung oleh masyarakat secara tidak langsung. Ketiga kepemimpinan tidak berfungsi dalam memperbaiki tata aturan (regulasi) yang dapat merubah kondisi rakyat. Konstitusi yang dibangun lebih pada pesanan-pesanan segelintir elit yang ingin terus mengeksploitasi sumber daya alam negara. Kekuasaan seperti ini jelas menghianati aspirasi rakyat karena lebih tunduk kepada tata aturan yang pro terhadap kepentingan asing dan segelintir elit. Kondisi ini terjadi akibat faktor sebelumnya dimana demokrasi harus diraih dengan biaya mahal  dalam membangun citra. Koalisasi permanen antara penguasa dan pengusaha yang selamanya akan menjadi pemenang pada setiap kontestasi pemilihan.

Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang sesungguhnya adalah pemilik otoritas, kekuasaan dan kewenangan harus bisa lebih cerdas dalam mengevaluasi dan memilih pemimpin agar tidak mengalami kekecewaan yang berulang. Setiap orang yang akan mentasbihkan dirinya sebagai pemimpin di masa yang akan datang, investasi sosial harus dilakukan sejak awal tetapi bukan hanya untuk tujuan keterpilihan yang sifatnya periodik tetapi memang untuk membangun organisasi yang akan dipimpin.(*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409