BLANTERVIO103

TOTALITERISME dan RADIKALISME MENGAYOMI INDONESIA

TOTALITERISME dan RADIKALISME MENGAYOMI INDONESIA
Jumat, 09 Agustus 2019
Oleh : Al Mukholis Siagian
(Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Padang) 


“Sebuah negara yang memaksakan kehendak pada warga negaranya adalah bentuk absolut ketotaliteran. Menggiring sikap yang memaksa oleh para negarawan terhadap warga Negara agar memberontak dan terus memberontak, perlawanan itu kita kenal dengan sebutan gerakan radikalis maupun menobatkan sekelompok warga negara dengan gelar teroris. Maka disaat itu jua, Negara tersebut sedang mengalami gangguan kejiwaan, penuh intrik dan gemar menebar konflik, ternyata Indonesia sedang mengidapnya.”
-Al Mukhollis Siagian

Membahas Negara yang kita tempati sendiri hendak melangsungkan segala aktivitas mempertahankan kehidupan adalah keharusan. Tidak lain agar supaya kita memahami kondisi negeri sendiri untuk menumbuhkembangkan rasa cinta padanya, atau istilah awamnya adalah nasionalisme. Selain itu juga, pembahasan itu diperuntukkan mengurai pelbagai problematik didalamnya agar supaya memperoleh benang merah dan solusinya. Jika dasar satu-satunya organisasi didunia adalah Negara dan setiap orang hanya boleh memiliki satu kewarga negaraan, maka satu-satunya yang kita punya hanyalah Negara untuk mengabdi padanya dan mengelola serta mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.

Bagaimanapun kondisinya, diskursus tentang negara harus memuat segala positif dan negatif selama keberlangsungannya. Sebagai pedoman suksesi tatanan dan pembangunan sendi-sendi kehidupan selanjutnya. Dalam hal ini keterbukaan wawasan, kedewasaan perasaan serta kebijaksanaan berfikir adalah kondisi terbaik yang harus dimiliki bersama untuk melakukan perubahan sebaik-baiknya perubahan. Namun entah kenapa, pembahasan tentang Negara selalu dilakukan tidak sebanding, mana kala data maupun wacana perkembangan positif mendominasi kemerosotan pada sefaktanya. Padahal untuk menuju perbaikan seutuhnya adalah mengetahui seluruh kejanggalan, kelemahan dan kemerosotan yang terjadi, karenanya penulis memilih untuk membahas sebuah kondisi bangsa kita dari sudut keterpurukan dengan judul Totaliterisme dan Radikalisme Mengayomi Indonesia.
Dimana totaliterisme ini penulis kiaskan hasil cerminan para pemangku kepentingan Negara yang cenderung otoriter, baik itu dalam hal kebijakan maupun tindakan pada warga negaranya. Sedangkan radikalisme ini sebutan untuk warga Negara yang memberontak sistem keotoriteran tersebut melalui pemahaman mendalam dan tindakan keras. Dan kedua unsur tersebut yang mengayomi tempat kita ini.

Kita sedang berada pada Negara bernama Indonesia, sebuah Negara yang memiliki garis sejarah panjang, unik, rumit dan tidak menyenangkan. Dimana dalam kurun waktu di belakang sering kita temui pertumpahan darah, peleburan nyawa manusia dengan binatang, penjajahan, pengkhianatan, dan permasalahan lainnya yang tentunya mengundang pilu jika di ulas kembali. Namun kini, garis waktu dan ruang pilu di masa lampau di tayangkan kembali dengan versi baru, sebuah kondisi rakyat dan himpunan rakyat (baca: Negara) menjadi dua hal yang bermusuhan. Kondisi yang membuat kita bingung siapa yang memulai dan siapa yang pantas dikatakan benar, apakah Negara atau sekelompok warga negara?

Untuk menjawab ini sebenarnya tidak perlu panjang lebar, sebab Indonesia adalah Negara absolute benar yang tidak pernah salah pada warganya, sifatnya hidraulistik, tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang berperan sebagai kekuatan penyeimbang jalannya pemerintahan. Penulis ambil dua contoh perkumpulan masyarakat di Indonesia yang pernah di bubarkan, yaitu PKI dan HTI. Walau kita akan menuai jawaban bahwa kedua perkumpulan tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai Ideologi Negara dan diatur dalam hukum sebagai mandat Negara Hukum. Berarti berdasarkan alasan pembubaran perkumpulan ini, kita memahami psikologi pemerintah dalam menempatkan Pancasila pada posisi kegamangan dan sebagai ideologi bangsa yang belum final. Tentu hal ini tidak bisa diterima, sebab Pancasila sudah final sebagai ideologi, sifatnya dinamis, terbuka dan memiliki daya tahan dari gangguan ideologi asing, seperti Komunisme, Marxisme, Leninisme dan Liberalisme. Memang beda halnya jika pemangku kepentingan Negara kita masih bersifat kekanak-kanakan, tidak mampu menata kehidupan yang saling berdampingan, menjunjung tinggi toleransi, saling menghargai, mengayomi dan melindungi.

Jikapun Negara ini salah dimata dunia, maka kembali lagi bahwa warga negaranyalah yang bersalah dan bertanggung jawab atas semua itu. Sebagai contoh, pembantaian kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965 atau termutakhir pada pemilu beberapa bulan belakang sebanyak 600 lebih jiwa pejuang demokrasi meninggal dengan alasan kelelahan. Adakah Negara melalui pemerintah untuk minta maaf? Bagi Indonesia adalah mungkin pemberian uang sebagai minta maaf terbaik “bagi mereka yang memandang warga negaranya rendah”. Kendati demikian, kiranya perlu kita bongkar psikologi kenegaraan dan pemangku kepentingannya (baca pemerintah). Merujuk metode dekonstruksi Derrida yang menyatakan bahwa “aspirasi utama dekonstruksi adalah menyingkap makna-makna yang dipinggirkan, diabaikan atau disembunyikan.

Kita ketahui bersama Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, dituangkan dalam konstitusi (UUD 1945 Pasal 1 Ayat 1), yang isinya Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
Pada teks yang memiliki kekuatan hukum dan sumber dari hukum-hukum dibawahnya ini terdapat makna totaliter negara yang disembunyikan. Bagaimana bisa? Ya, mari kita tajamkan analisis dalam membedah makna bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat ketotaliteran itu tersisip dalam kata kesatuan. Apabila kita merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (bahasa yang disumpahkan oleh pemuda pada tempo lalu dan tidak boleh ada kebohongan didalammya), kesatuan memiliki makna perihal satu, keesaan, sifat tunggal, dan hal keseutuhan. Makna totaliter yang disembunyikan dalam kata kesatuan menjadi jelas ketika kita memahami keadaan sosial yang begitu beragam namun dipaksa untuk diseragamkan. Untuk memperkuatnya, boleh kita ambil dua Negara yang melalui sejarah cikal bakal terbentuknya dari kontekstual sejarahnya masing-masing, yaitu Francis dan Indonesia. Negara Francis terbentuk dari bangsa yang sama, yaitu bangsa Franc, meskipun banyak konflik didalamnya, namun perihal penyelesainnya adalah mudah.

Sedangkan Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai, bangsa, suku dan adat namun dipaksa kehendakkan menjadi bangsa Indonesia. Benar bahwa semua itu adalah panggilan nurani dan spirit kebersamaan dimasa lampau hendak menyisir imperialis dan kolonialis, namun menjadikan bentuk Negara sebagai pemukul untuk warga negaranya sendiri adalah kejahatan sejarah dan kekejaman masa depan.
Kembali pada konteks kesatuan yang merupakan perihal satu, memiliki implikasi dari negara ke rakyat (top down/mutlak), lalu dibungkus dengan demokrasi. Konsekuensinya adalah perlawanan atas ketidakpuasan warga Negara terhadap para pejabat Negara dalam menjalankan tugas-tugas negara, sebab teriakan suara dijalanan, gerak demokratis berdemonstrasi dan melalui hukum sekalipun hanyalah formalitas kesisteman negara.
Pun demikian atas dasar ini, wajar kiranya sekelompok warga Negara maupun lebih membentuk gerakan sebagai pertanda pemerintahan sedang tidak becus mengurusi kepentingan Negara, apakah itu sebutannya teroris maupun radikalis, namun yang jelas itu adalah reaksi dari penindasan, pemaksaan dan ketidakpercayaan. Logikanya sederhana saja, jikalau warga Negara tidak terganggu dengan jalannya pemerintahan, maka mereka pun tidak akan mengganggu pemerintahan, bahkan mendukung penuh segala programnya.

Tapi fakta berkata bahwa pemerintah selalu mengganggu warga negaranya dan gangguan itu bernama pemaksaan dan penindasan. Lihat saja kebijakan pemerintah menindas para warga kecil seperti buruh, petani, nelayan dan sebagainya, dimana yang mereka miliki hanyalah raga untuk bekerja sepanjang hari untuk menghasilkan uang, beras, ikan, dan kebutuhan pokok lainnya agar supaya mampu bertahan hidup. Namun pemerintah memilih untuk menindasnya melalui impor. Atau kondisi anak bangsa yang masih banyak pengangguran tetap dipaksa untuk menganggur melalui impor tenaga kerja asing.
Sebagai contoh termutakhir atas kondisi radikalisme mungkin bisa kita tilik gerakan teroris menjelang pilkada pada tahun 2018 kemarin dan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka yang hingga kini masih semangat untuk memperoleh kenyamanan, ya menurut satu-mereka satunya agar kenyamanan tercapai adalah merdeka dan lepas dari Indonesia. Sehingga tekad mereka bulat dan tetap bersikukuh untuk merdeka, melakukan perlawanan bahkan meminta bantuan pada Negara-negara lain hingga pada PBB.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah gerakan radikalis maupun teroris ini terjadi tanpa sebab? Tentu jawabannya tidak, dan merujuk dari pemikiran Arendt bahwa gerakan radikalis merupakan proses merefleksikan diri dalam realisasi hukum gerakan, dengan tujuan utamanya tidak lain untuk mewujudkan kekuatan alam atau sejarah melaju bebas mengangkangi seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh tindakan spontan manusia.” Pengertian yang diberikan oleh Arendt ini menunjukkan titik percikan api gerakan tersebut terlahir dari ketidakpercayaan terhadap penguasa seperti yang terjadi di Jerman pada eranya Nazisme. Atau mungkin gerakan ini juga memiliki sebutan kekuasaan melahirkan anti kekuasaan seperti salah satu kajian dari teori post-strukturalis yang dikemukakan oleh Foucalt. Pengingat tentang kekuasaan yang diabsolutkan cenderung memperoleh perlawanan. Dan sudah sangat banyak contoh kondisi pergejolakan anatara pemimpin (pemangku kepentingan Negara) dan yang dipimpin (warga Negara) dalam garis sejarah, seperti salah satunya Kerajaan Romawi yang pernah dikuasai Raja Caligula.
Menyusuri kondisi yang kompleks ini, penulis menarik benang merah putihnya berada pada penyebab gerakan yang diperuntukkan pada pemerintahan totaliter sebagai upaya mengambil alih hukum positif dengan menempatkan diri pada pihak oposan, serta menerjemahkan hukum alam atau sejarah dalam realitas kenegaraan, dimana kita memiliki spirit kebersamaan dan berjuang berdampingan dalam menyisir Negara imperialis dan kolonialis.

Mungkin bagi Negara kapitalis semua warga negaranya dibebaskan bekerja dan bebas memberikan kritik maupun otokritik pada pemerintahannya, meski sering dibungkam jua namun kehendak warga negaranya mutlak; bagi Negara komunis setiap kebutuhan warga negaranya dipenuhi oleh Negara sehingga mengkritik pemerintahannya hukumnya haram, karena sitemnya komando mutlak; namun Indonesia dengan ketidakjelasannya mengaplikasikan Pancasila dengan benar dan baik menjadi problem penuh intrik dan konflik, kebutuhan warga negaranya tidak terpenuhi namun diharapkan keras agar tidak mengkritik dan dengan sistem komando mutlak, mungkin agar supaya pemerintah tetap fokus mengenyangkan perut keluarga dan sanak saudaranya.

Tentu keadaan ini bukanlah suatu hal yang menyenangkan, tidak boleh diabaikan dan dilanjutkan dalam Negara, terlebih kita yang menginginkan kehidupan penuh kedamaian dan mewujudkan kesejahteraan. Perubahan sikap dan tindakan para aparat pemerintahan adalah satu-satunya cara terbaik, mengembalikan kepercayaan warga Negara, membiarkannya memberikan masukan-masukan solusi pada pelbagai kondisi, dan mengurangi kadar kebohongan serta fitnahan terhadap kelompok warga Negara tertentu, seperti tudingan Islam garis keras, Islam radikalis, dan sebagainya.

Dan jikalau belum mampu melakukan memenuhi kebutuhan warga negaranya dengan baik, maka setidaknya jangan lebih memperhatikan anak tetangga ketimbang anak sendiri, mengimpor tenaga kerja asing di tengah warga negaranya yang nganggur. Ambil sebuah kebijakan dengan kebijaksanaan melibatkan seluruh tatanan Negara untuk menyukseskannya, berkolaborasi membangun bangsa akan mengembalikan kepercayaan sesamanya dengan baik serta menjalin hubungan harmonis, antara pemerintah, warga negara dan swasta. Untuk itu, harapan terbaik kita lontarkan pada pemangku kepentingan Negara dan pemecah kegentingan permasalahan agar melakukan perubahan yang benar dan baik. Ingat, satu-satunya yang kita punya adalah Indonesia dan warga negaranya adalah keluarga kita yang harus diayomi, dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya. (*)

Identitas Penulis
Nama : Al Mukhollis Siagian
Status : 1. Mahasiswa
  2. Ketua Umum Phoenix 2018/2019
  3. Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik 2019/2020
  4. Penggiat Literasi
  5. Pemerhati Problematika Sosial
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara
Asal Kampus : Universitas Negeri Padang
Tahun Masuk : 2017
No. HP : 0823-6035-5821 (Tlp/SMS) 0895-0381-1190 (WA)
Email : almukhollis1998@gmail.com
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409