BLANTERVIO103

Pengembangan Daya Saing Berkelanjutan

Pengembangan Daya Saing Berkelanjutan
Rabu, 25 September 2019

Oleh: Musran Munizu
(Guru Besar Bidang Manajemen Operasional UNHAS)

Intensitas persaingan di pasar global yang semakin sengit (hyper-competition) telah dirasakan oleh industri manufaktur di dalam negeri sejak diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan ASEAN (ASEAN Free Tade Area = AFTA) pada tahun 1993, ACFTA (Asean-China Free Trade Area) di tahun 2010 dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) di akhir tahun 2015. Kondisi ini terus berlanjut ketika dunia memasuki awal abad-21 dan fase era revolusi industri 4.0 saat ini.

Fenomena lingkungan persaingan bisnis global yang sangat dinamis, bagi industri manufaktur pada satu sisi menjadi peluang (opportunity) untuk memperluas pasarnya, namun disisi yang lain merupakan ancaman (threat) bagi eksistensinya. Hal ini terjadi karena produk-produk perusahaan manufaktur di Indonesia bukan saja bersaing dengan produk domestik, tetapi juga harus menghadapi tantangan persaingan dengan produkproduk di pasar global, utamanya yang berasal dari kawasan ASEAN, China/Tiongkok, dan Amerika.

Secara makro, kondisi persaingan ini memberikan dampak langsung terhadap posisi daya saing Indonesia di level internasional. Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) mencatat bahwa posisi daya saing Indonesia mengalami trend yang menurun sejak 5 tahun terakhir, yakni dari peringkat ke-34 pada tahun 2014, menjadi peringkat ke-37 di tahun 2015 dan peringkat ke-41 pada tahun 2016. Kemudian, pada tahun 2017, peringkat Indonesia naik kembali menjadi ke-36. Akan tetapi, pada tahun 2018 kembali mengalami penurunan peringkat dari peringkat 36 menjadi 45 dari 140 negara di dunia. Namun demikian, di level Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-4 setelah Singapura (2), Malaysia (25), dan Thailand (38) dari 10 negara anggota ASEAN (WEF, 2018).

Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan daya saing perusahaan. Akan tetapi sebagai fasilitator dapat mempengaruhi faktor-faktor penentu daya saing global seperti mempermudah akses pelaku industri terhadap permodalan, sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi, dan informasi. Selain itu, penentuan standar upah minimum, dan penetapan standar produk nasional (SNI). Oleh karena itu, untuk meraih daya saing yang berkelanjutan, diperlukan praktik kualitas manajemen, pengelolaan rantai  pasokan, dan manfaatkan teknologi dengan tepat.

Sejumlah riset telah membuktikan bahwa praktik pengelolaan mutu yang semakin baik akan mampu meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan (Krajewski et al., 2019). Filosofi TQM menggunakan pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua fungsi-fungsi organisasional untuk fokus pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dan sasaran-sasaran organisasional. Cara terbaik agar dapat bersaing dan unggul dalam persaingan global adalah dengan menghasilkan kualitas yang terbaik melalui praktik TQM (Lakhal, 2009; Munizu et al., 2017; Munizu et al., 2019).

Rantai pasok yang dikelola secara efektif memungkinkan perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya, pengurangan risiko, dan penyerahan barang secara on-time kepada pelanggan (Li et al., 2006; Lakhal et al., 2006; Chopra, 2019). Inti dari konsep supply chain management (SCM) adalah integrasi aktivitas pengadaan bahan baku, proses produksi barang setengah jadi dan produk akhir, serta pengiriman ke pelanggan. Manajemen rantai pasokan bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, meminimumkan biaya transportasi dan distribusi, mengurangi persediaan bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi (Chopra & Meindl, 2004; Heizer & Render, 2015; Chopra, 2019).

Teknologi informasi dapat mendorong implementasi TQM dan SCM yang efektif dalam perusahaan. Dalam konteks TQM, Teknologi Informasi (TI) sangat diperlukan untuk memperlancar kegiatan operasi/produksi, pengendalian mutu, pengendalian persediaan, dan koordinasi lintas fungsi di internal organisasi (Frohlich, 2002; Rodriguez & Lorente, 2011; Munizu, 2014, Munizu et al., 2017). Menurut Heizer& Render (2015) sejumlah aplikasi teknologi dalam perusahaan seperti Computer Aided Design (CAD), Computer Aided Manufacturing (CAM), SQC (Statistical Quality Control), Material Requirement Planning (MRP), Enterprises Resource Planning (ERP) akan semakin optimal dengan dukungan kemajuan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Frohlich (2002) bahwa kemajuaan teknologi informasi memberikan dampak yang positif dalam konteks pengelolaan rantai pasok. Keterlibatan teknologi informasi dalam pengelolaan rantai pasok antara lain melalui pemanfaatan enterprice resource planing (ERP), inter organizations information system, electronic data interchange (EDI), Virtual Enterprise, dan penggunaan e-commerce dalam aktivitas bisnis perusahaan (Pujawan, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:
Di tengah lingkungan bisnis global yang sangat dinamis, untuk menghadirkan produk yang berkualitas tinggi, berbiaya rendah, fleksibel, dan inovatif, yang disertai dengan penyerahan produk tepat waktu (on-time delivery) secara konsisten kepada pelanggan, maka implementasi praktik manajemen mutu terpadu (TQM), pengelolaan rantai pasok yang efektif (SCM), dan pemanfaatan teknologi informasi bagi industri manufaktur menjadi suatu “keniscayaan” sebagai strategi dan alat (tools) yang tepat untuk menciptakan, mempertahankan dan mengembangkan daya saing perusahaan secara berkelanjutan.

Pengelolaan rantai pasokan yang efektif bertumpu pada koordinasi, kolaborasi dan integrasi sistem untuk memastikan produk tersedia secara on-time (tepat waktu), terjamin kualitasnya. Sedangkan praktik TQM fokus pada peningkatan produktivitas dan kualitas seluruh rantai pasokan. Oleh karena itu, ketika SCM diterapkan dengan benar, maka TQM akan memainkan peran utama dalam mengembangkan perusahaan secara terintegrasi melalui pendidikan, pelatihan, komunikasi, dan pengembangan hubungan yang positif dengan supplier & pelanggan, serta dihasilkannya produk-produk yang inovatif melalui kerja sama tim (team work) yang solid pada seluruh sistem rantai pasokan. Sementara, implementasi teknologi informasi dapat mempercepat koordinasi dan kolaborasi melalui integrasi sistem berbasis elektronik yang dimulai dari pemasok (suppliers) melintasi perusahaan, pabrikasi& pergudangan (manufacturers), pedagang besar, retailer, sampai pada pelanggan akhir (end customers) yang merasa terpenuhi dan terpuaskan kebutuhannya.

Selain itu, untuk menjamin keberhasilan implementasi praktik manajemen mutu (TQM), pengelolaan rantai pasok (SCM), dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) secara konsisten, dibutuhkan para manajer perusahaan yang mumpuni, yakni manajer yang mempunyai komitmen yang kuat, memiliki pemahaman pengetahuan dan skill yang memadai serta komprehensif. Karena implementasi praktik TQM, SCM, dan pemanfaatan teknologi informasi bukan hanya sekedar program dalam bidang operasi perusahaan, tetapi lebih dari itu ketiganya merupakan bagian yang terintegrasi yang meliputi seluruh fungsi organisasi perusahaan dan hubungannya dengan mitra eksternal (pemasok & pelanggan). Dengan demikian, para manajer harus menganggap ketiganya sebagai sumber daya organisasi yang saling melengkapi (complementary resources).

Pengembangan daya saing berkelanjutan (sustainability competitive advantage = SCA) dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan implementasi praktik manajemen mutu, dan mengefektifkan pengelolaan rantai pasok melalui dukungan pemanfaatan teknologi informasi dalam aktivitas bisnis perusahaan manufaktur. Internalisasi konsep manajemen mutu dan manajemen rantai pasok sebagai bagian dari filosofi dan strategi bisnis yang disertai dengan perbaikan secara terus-menerus unsur-unsurnya menjadi faktor kunci dalam mempertahankan dan mengembangkan daya saing perusahaan manufaktur dalam jangka panjang.

Daya saing perusahaan manufaktur yang semakin meningkat dalam jangka panjang dapat mendorong pada meningkatkatnya daya saing industri nasional, dan pada gilirannya akan memberikan kontribusi positif pada peningkatan posisi daya saing nasional di tingkat internasional. Karena daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing pada tingkat industri, wilayah/ daerah, dan negara. (*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409