Oleh: Dr Mursalim Nohong, SE, MSI
(KPS MKD FEB UNHAS MAKASSAR)
Mutasi merupakan istilah yang memiliki makna disesuaikan dengan unitnya. Istilah mutasi dalam ilmu biologi dikenal sebagai penyebab adanya variasi makhluk hidup. Mutasi seringkali dihubungkan dengan perubahan bentuk atau sifat. Oleh karena itu, mutasi dalam organisasi sebagai perubahan posisi/jabatan/tempat/pekerjaan yang dilakukan pimpinan puncak organisasi kepada seseorang (manajemen dan non-manajemen) baik secara horizontal maupun vertikal (promosi/demosi) di dalam satu organisasi. Bahkan dalam siklus manajemen sumber daya manusia, mutasi menjadi salah satu tahapan dan fungsi yang optimal.
Kebijakan mutasi dalam lingkup organisasi pemerintah merupakan salah satu fungsi manajemen sistem kepegawaian negara yang sangat fundamental. Artinya, mutasi tidak seharusnya menjadi peristiwa yang heboh asalkan saja tujuan dan prosesnya dilakukan secara benar meskipun dalam praktiknya tidak bisa terlepas dari eksistensi pemerintah seperti gubernur dan bupati dalam kerangka kepentingan politik. Sebaik apapun (transparan, taat asas, akuntabel) proses mutasi dijalankan pasti akan muncul aroma tidak sedap. Fakta menunjukkan bahwa sering kali mutasi pegawai ASN di berbagai instansi pemerintah daerah yang ada di Indonesia menimbulkan berbagai persoalan. Penyebabnya karena adanya tarik ulur kepentingan antara penguasa dan teman-teman penguasa antara profesionalitas dengan kekeluargaan dan balas budi.
Jika mencermati tujuan sebenarnya mutasi sebagai sebuah upaya untuk memperoleh the right man on the right place. Jika itu terwujud, mutasi tidak perlu lagi menimbulkan permasalahan apalagi kalau berujung pada upaya untuk melakukan gugatan atau mosi tidak percaya terhadap pimpinan. Di Kota Makassar misalnya, fenomena ini pernah terjadi ketika Walikota diakhir masa jabatannya melakukan mutasi yang sesungguhnya baik secara aturan maupun keberadaan lembaga internal seperti BKPSDM (dulu BKD) serta Baperjakat misalnya tidak perlu dilakukan. Dampaknya, beberapa pejabat seperti Lurah hanya menjabat dalam hitungan sepekan. Selain itu, dibeberapa tempat misalnya, mutasi seringkali tidak sesuai dengan hasil evaluasi persoalan kebutuhan kinerja pagawai bahkan mutasi dilakukan hanya dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu tanpa ada dampak yang signifikan dalam meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan publik pegawai ASN. Oleh karena itu, proses mutasi mengundang perhatian publik apalagi jika dalam mutasi tersebut ditengarai ada patronage system effect (efek pengangkatan seorang pegawai karena hubungan pribadi antara pihak yang mengangkat dengan yang diangkat). Ada baiknya menyimak salah satu berita pada pojoksulsel.com tanggal 8 Januari 2021 yang melansir bahwa mutasi yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sidrap diduga mulai membangun gerbong keluarga masuk dalam pemerintahannya. Tentu berita semacam ini atau opini masyarakat bisa saja berkembang dengan sejumlah dukungan data dan fakta. Keterbukaan dan kemudahan mengakses informasi memungkinkan masyarakat untuk mengetahui latar belakang seseorang pejabat yang didudukkan pada sebuah posisi. Sejak pelantikan pada tanggal 31 Desember 2018 sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sidenreng Rappang, telah dilakukan beberapa kali mutasi yakni September 2019, Januari 2020, Januari 2021. Data ini menunjukkan bahwa seolah terbentuk pola data semesteran pada proses mutasi yang dilakukan. Fenomenan ini terjadi seolah ingin memperkuat argumentasi sang Bupati dalam kaitan dengan moment evaluasi kinerja setiap semester (enam bulan). Tentu tidak sekedar sebuah gertakan karena memang memiliki power dan legitimasi untuk melakukannya. Akan tetapi akan jauh lebih baik dan gentle ketika proses pengambilan keputusannya dilakukan secara bersama dengan wakil bupati dan unsur pemerintah terkait lainnya sehingga tidak terkesan pemerintahan dikendalikan oleh satu orang saja yang lain hanya pelengkap penderita.
Lantas bagaimana seharusnya mutasi dilakukan? Proses mutasi (pengangkatan dan pemberhentian) dalam jabatan struktural dan fungsional pada lingkup pemerintah harus merujuk pada UU ASN. Dalam UU ASN dijelaskan mutasi pegawai ASN baik dalam jabatan struktural maupun non struktural harus menempatkan pada prinsip dasar the right man in the right place. Selain itu, kebijakan mutasi pegawai ASN ini perlu menciptakan suatu netralitas yang tinggi, dan berlandaskan pada merit system (pengangkatan seorang pegawai didasarkan pada kecakapan yang dimiliki). Dalam konsep yang lebih umumnya bahwa mutasi pegawai diharapkan mampu mengorong dan menciptakan penerapan reformasi birokrasi dan reformasi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pada tingkatan pemerintahan daerah. Sebab reformasi birokrasi sendiri memiliki tujuan yakni mengubah struktur, tingkah laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama, terlebih khusus dalam penataan sistem dan manajemen kepegawaian. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) huruf g UU ASN, mutasi dikelompokkan menjadi bagian dari manajemen PNS yang ditujukan untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Mengacu pada Surat Instruksi Mendagri Nomor 820/6040/SJ menegaskan bahwa penjabat kepala daerah dilarang melakukan mutasi pegawai tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Selain itu, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor K.26-30/V.100-2/99 juga menegaskan bahwa penjabat kepala daerah tidak memiliki kewenangan mengambil atau menetapkan keputusan yang memiliki akibat hukum (civil effect) pada aspek kepegawaian, untuk melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam/dari jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN), kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis dan Menteri dalam Negeri.
Intinya, Mutasi dilakukan tidak secara tiba-tiba tetapi melalui sebuah perencanaan yang sistematis dan taat asas. Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi dijelaskan bahwa Intansi Pemerintah menyusun perencanaan mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungannya, dengan memperhatikan aspek: a. kompetensi; b. pola karier; c. pemetaan pegawai; d. kelompok rencana suksesi (talent pool); e. perpindahan dan pengembangan karier; f. penilaian prestasi kerja/kinerja dan perilaku kerja; g. kebutuhan organisasi; dan h. sifat pekerjaan teknis atau kebijakan tergantung pada klasifikasi jabatan. Artinya, sebuah mutasi yang dilakukan haruslah terhadap ASN yang kompeten, tidak berdampak pada matinya karier seseorang ASN serta syarat lainnya. (*)
Emoticon