BLANTERVIO103

Dari Ruang Kelas ke Panggung Perubahan: Misi Sunyi Pendidik Menuju Era Indonesia Emas

Dari Ruang Kelas ke Panggung Perubahan: Misi Sunyi Pendidik Menuju Era Indonesia Emas
Jumat, 02 Mei 2025

 


Mursyid Fikri, S.Pd.I.MH

(Dosen PAI Unismuh/Sekretaris GKM FAI)


Hari Pendidikan Nasional selalu menjadi momen reflektif bagi setiap insan yang terlibat dalam dunia pendidikan. Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur dan transformasi digital, kita diingatkan kembali bahwa fondasi sebuah bangsa yang kuat tetaplah terletak pada mutu pendidikannya. Bukan sekadar tentang banyaknya sekolah atau kampus yang berdiri, tetapi tentang seperti apa karakter dan nilai yang tumbuh dari proses pendidikan itu sendiri. Di sinilah tanggung jawab pendidik menjadi sangat besar: bukan hanya mencerdaskan, tetapi membentuk manusia yang berintegritas.


Saya teringat almarhum Bapak saya, yang sejak masa SMA telah mengajak saya menyelami sisi gelap dari dunia penegakan hukum. Beliau menunjukkan bagaimana sebagian oknum bisa dengan mudah tergelincir dalam godaan materi dan jabatan. Saya masih ingat jelas istilah “bagi-bagi roti meki” ungkapan satir yang menggambarkan praktik sogokan yang tak habis pikir, bahkan seringkali dibungkus dengan "hadiah" tak jelas asalnya. Dari situlah saya belajar, bahwa menjadi pendidik bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan, tapi juga mewariskan keberanian moral untuk berkata benar di tengah sistem yang bengkok.


Hari ini, tugas kita sebagai pendidik jauh lebih kompleks. Kita hidup di tengah dunia yang bergerak cepat, penuh informasi namun minim perenungan. Pendidikan tidak cukup hanya berhenti pada permukaan. Di sinilah pendekatan deep learning hadir sebagai jawaban atas krisis makna dalam pendidikan kita. Pendekatan ini mengajarkan siswa untuk tidak hanya tahu, tapi juga paham, merasakan, mengolah, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kebaikan. Ia mengajak peserta didik untuk menyelami ilmu secara utuh: dengan pikiran, hati, dan tangannya.


Pendidikan mendalam bukan hanya tentang metode belajar aktif, tapi tentang keberanian menggugat pembelajaran dangkal. Ia menumbuhkan keingintahuan yang berkelanjutan, kemampuan berpikir kritis, dan kesadaran reflektif. Dalam konteks ini, guru atau dosen bukan lagi pusat pengetahuan mutlak, tetapi fasilitator yang membimbing mahasiswa menemukan makna dari apa yang mereka pelajari. Maka, penting bagi kita sebagai pendidik untuk tidak hanya menguasai konten, tetapi juga menjadi teladan dalam cara hidup dan berpikir.


Namun, pembelajaran mendalam ini hanya akan memiliki daya ubah yang besar jika dikaitkan dengan konsep Pendidikan Tinggi yang Berdampak. Ini bukan sekadar jargon, tetapi visi yang menuntut komitmen nyata dari setiap perguruan tinggi untuk keluar dari menara gadingnya. Pendidikan tinggi tidak boleh hanya menghasilkan lulusan, tetapi harus melahirkan solusi. Kampus harus menjadi pusat gagasan yang mampu menjawab problem nyata bangsa: kemiskinan, intoleransi, kerusakan lingkungan, dan krisis moral.


Dalam konsep Pendidikan Berdampak, kurikulum tidak lagi disusun sekadar untuk memenuhi SKS, tapi harus mampu membekali mahasiswa dengan kepekaan sosial, daya inovasi, dan keberanian untuk bertindak. Proyek-proyek sosial, riset kolaboratif lintas disiplin, pengabdian kepada masyarakat, semuanya menjadi bagian utuh dari proses belajar. Mahasiswa harus dilatih menjadi co-creator, bukan sekadar penerima materi. Mereka harus merasa memiliki misi hidup, bukan sekadar mencari kerja.


Peran dosen pun berevolusi. Tidak cukup menjadi pengajar yang pandai bicara di depan kelas. Ia harus menjadi mentor yang mampu menyelami potensi mahasiswa, membimbing mereka keluar dari zona nyaman, dan menyemai nilai kebermanfaatan dalam setiap proses akademik. Di tangan dosen yang mampu menjadi teladan hidup, mahasiswa akan melihat bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari IPK tinggi semata, tetapi dari kontribusi nyata terhadap sesama.


Dalam visi ini, keberhasilan pendidikan tinggi tidak hanya dilihat dari berapa banyak mahasiswa yang diwisuda atau berapa publikasi ilmiah yang dihasilkan. Melainkan sejauh mana keberadaan kampus mampu mengubah wajah kampung, daerah, bahkan bangsa. Sejauh mana ilmu yang dikembangkan mampu merespons kebutuhan masyarakat yang marjinal. Pendidikan yang berdampak menjadikan ilmu pengetahuan hidup berpihak, menyentuh, dan membebaskan.


Maka, Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi pengingat akan cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara: pendidikan yang menuntun segala kodrat anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam konteks hari ini, kebahagiaan itu adalah ketika mahasiswa mampu melihat ilmu sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan, memperbaiki kerusakan, dan menyebarkan nilai kebaikan. Pendidikan adalah jalan sunyi membentuk peradaban, dan itu hanya mungkin bila dijalankan oleh pendidik yang teguh iman, jernih hati, dan sadar arah.


Kini, tugas itu ada di tangan kita semua. Mendidik dengan hati, membimbing dengan nurani, dan menyusun masa depan Indonesia dengan dasar yang kuat: akhlak, ilmu, dan pengabdian. Semoga dari ruang-ruang kelas, lahir generasi yang tak hanya cerdas, tetapi juga bersih dan berani. Inilah kontribusi nyata kita dalam mengantar Indonesia menuju cita-cita emasnya, bukan sekadar makmur, tapi bermartabat. (*) 

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409