Halmahera Selatan, Maluku Utara – Dugaan penipuan dalam pengurusan izin tambang di Desa Kusubibi, Kecamatan Bacan Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, terus menjadi sorotan. Peristiwa ini diduga menyebabkan kerugian hingga Rp350 juta bagi puluhan warga penambang, bahkan disebut-sebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Pemberitaan yang beredar menyebut adanya keterlibatan sejumlah oknum, termasuk dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Maluku Utara. Namun, pihak-pihak yang disebut dalam laporan tersebut kini angkat bicara dan memberikan klarifikasi.
Salah satu nama yang mencuat dalam pemberitaan, H. Haidir, membantah semua tuduhan. Ia menyatakan tidak pernah menerima panggilan dari wartawan yang memberitakan dugaan penipuan tersebut. "Jika memang ada panggilan, pasti ada notifikasi 'missed call'. Namun itu tidak pernah ada," tegas Haidir.
Menurut Haidir, keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat di Kusubibi didasari oleh niat tulus untuk membantu warga meningkatkan taraf hidup. Ia juga menegaskan bahwa tidak pernah meminta dana dari pihak pengusaha. “Semua dana yang digunakan berasal dari kantong pribadi saya,” ujarnya.
Terkait tiga orang yang disebut dalam pemberitaan sebelumnya, Haidir menjelaskan bahwa mereka hadir hanya untuk memberikan informasi teknis terkait tata cara pengurusan izin tambang yang benar.
Sementara itu, DPMPTSP Provinsi Maluku Utara membantah tuduhan keterlibatan dalam praktik penipuan tersebut. Tuduhan itu dinilai mencemarkan nama baik instansi dan para pegawainya. "Tidak ada bukti valid yang menunjukkan keterlibatan resmi DPMPTSP dalam kegiatan tersebut," demikian pernyataan dari pihak terkait. Mereka juga menambahkan bahwa pertemuan yang disebut-sebut dalam laporan berlangsung pada hari libur, bukan hari kerja.
Menanggapi keluhan sejumlah warga penambang yang mengaku merugi hingga ratusan juta rupiah karena pengurusan izin, Kepala Bidang Fisik Tata Ruang Wilayah Bappeda Halmahera Selatan, Jarnawir Sangaji, menegaskan bahwa pengurusan izin pertambangan rakyat (WPR) seharusnya tidak dikenakan biaya. "Secara aturan, pengurusan WPR adalah gratis. Jika ada biaya, itu hanya untuk administrasi ringan, konsumsi, dan transportasi. Nilainya tidak sampai ratusan juta," ujar Jarnawir.
Kasus ini menyoroti perlunya transparansi dalam pengurusan izin tambang serta pentingnya perlindungan terhadap masyarakat dari potensi praktik penipuan. Pemerintah daerah diharapkan segera melakukan investigasi menyeluruh untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. (*)
Emoticon