Dr. Mursyid Fikri, S.Pd.I.,MH
Ketua Gugus Kendali Mutu (GKM) Fakultas Agama Islam Unismuh Makassar.
Pergantian Tahun Baru 2026 tidak semestinya dipahami sekadar sebagai perubahan angka dalam kalender akademik. Ia adalah momentum reflektif yang penting bagi dunia kampus untuk menimbang kembali arah, kualitas, dan makna dari seluruh aktivitas akademik yang telah dijalani sepanjang tahun 2025. Waktu tidak hanya berlalu, tetapi juga mencatat. Ia menjadi saksi atas bagaimana amanah pendidikan tinggi dijalankan apakah sekadar rutinitas administratif, atau benar-benar proses pemanusiaan melalui ilmu.
Dalam lanskap perguruan tinggi, budaya mutu kerap direduksi menjadi dokumen, LED, dan instrumen evaluasi. Akreditasi menjadi tujuan, sementara kesadaran sering kali tertinggal. Padahal, mutu sejati tidak pernah lahir dari sekadar kepatuhan administratif. Mutu tumbuh dari kesadaran mendalam akan amanah. Sebagai Ketua Gugus Kendali Mutu Fakultas Agama Islam, saya meyakini bahwa budaya mutu adalah kewajiban moral dan spiritual, bukan hanya tuntutan sistem pendidikan tinggi.
Mutu yang berorientasi akhirat menempatkan proses di atas sekadar hasil. Ia tidak berhenti pada kepuasan capaian institusional, tetapi menuntut kejujuran, konsistensi, dan tanggung jawab. Setiap kebijakan akademik, setiap evaluasi pembelajaran, hingga setiap keputusan pengelolaan fakultas adalah bagian dari amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban. Ketika mutu hanya dikejar demi angka dan peringkat, ia kehilangan ruhnya.
Kesadaran inilah yang sejatinya menandai pendewasaan diri dalam dunia akademik. Melangkah dengan kesadaran berarti memahami mengapa sebuah tugas dilakukan, bukan sekadar bagaimana ia diselesaikan. Akademisi yang dewasa tidak bekerja karena tekanan regulasi semata, tetapi karena keyakinan bahwa ilmu adalah ibadah intelektual dan tanggung jawab peradaban. Pendewasaan akademik tidak selalu ditandai oleh jabatan atau masa kerja, melainkan oleh kejernihan niat dan kedalaman tanggung jawab.
Refleksi tentang waktu dan kesadaran ini menemukan resonansi kuat dalam keilmuan falak. Pergantian siang dan malam, rotasi bumi, peredaran bulan, dan pergantian tahun bukanlah peristiwa kebetulan. Ia adalah sunnatullah hukum Allah yang pasti, teratur, dan tidak pernah meleset. Alam semesta bergerak dengan disiplin kosmik yang menakjubkan, tanpa pernah absen atau menunda perannya.
Dalam perspektif ilmu falak, waktu bukan sekadar ukuran kronologis, melainkan tanda yang sarat makna. Setiap detik memiliki koordinatnya, setiap hari memiliki batasnya, dan setiap tahun memiliki siklusnya. Waktu tidak menunggu kesiapan manusia. Matahari tetap terbit meski manusia lalai, dan malam tetap datang meski manusia belum selesai dengan urusannya. Dari sini, alam mengajarkan bahwa keteraturan dan konsistensi adalah bentuk ketaatan paling nyata.
Jika alam semesta saja tunduk sepenuhnya pada hukum Allah, maka dunia akademik seharusnya tidak berjalan tanpa arah. Kampus tidak cukup hanya bergerak, tetapi harus bertumbuh. Tidak cukup hanya sibuk, tetapi harus bermakna. Tahun 2025 telah menjadi ruang kerja yang penuh dinamika: pengajaran, penelitian, pengabdian, serta pengelolaan institusi. Kini, Tahun 2026 hadir sebagai fajar baru yang menuntut kejernihan niat dan ketegasan arah.
Dalam ilmu falak, fajar bukan sekadar pergantian waktu, tetapi tanda dimulainya aktivitas. Ia mengajak manusia untuk bangkit, bersiap, dan melangkah. Maka, pergantian tahun semestinya menjadi titik awal pembenahan, bukan sekadar perayaan. Evaluasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai kebutuhan untuk bertumbuh. Kesadaran inilah yang menjadi fondasi budaya mutu yang berkelanjutan.
Melangkah dengan kesadaran pada tahun baru berarti berani bercermin secara jujur. Mengakui kekurangan bukanlah kelemahan, melainkan tanda kedewasaan. Kampus yang sehat adalah kampus yang mampu belajar dari dirinya sendiri. Mutu tidak lahir dari lompatan instan, tetapi dari langkah-langkah kecil yang konsisten dan terukur. Seperti peredaran bulan yang tidak pernah melompati fase, peningkatan mutu akademik pun menuntut kesabaran dan disiplin.
Kampus yang bermutu adalah kampus yang selaras dengan sunnatullah waktu: terencana, bertahap, dan berkelanjutan. Ia tidak tergesa-gesa, tetapi juga tidak stagnan. Ia bergerak dengan kesadaran, bukan dengan kegaduhan. Di sinilah pentingnya peran seluruh sivitas akademika dalam membangun budaya mutu sebagai kesadaran kolektif, bukan beban struktural.
Kepada para mahasiswa, ruang kelas sejatinya bukan sekadar tempat mengejar nilai dan kelulusan. Ia adalah arena pembentukan diri. Setiap diskusi adalah latihan berpikir kritis, setiap tugas adalah latihan tanggung jawab, dan setiap ujian adalah latihan kejujuran. Ilmu yang tidak mendewasakan karakter hanya akan melahirkan kecerdasan tanpa arah.
Sementara itu, bagi para dosen, ruang kelas adalah ruang pengabdian sekaligus ruang pengembangan diri. Mengajar bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi menyalakan kesadaran, membimbing arah, dan memberi teladan. Di sanalah integritas akademik diuji dan nilai-nilai ditanamkan. Dosen tidak hanya mengajar mata kuliah, tetapi juga menghadirkan makna dalam proses belajar.
Pergantian waktu adalah sunnatullah yang berjalan pasti tanpa pernah menunggu kesiapan manusia, siang dan malam silih berganti, tahun demi tahun terus berputar sebagai tanda kebesaran Allah, namun di tengah kepastian itu pendewasaan diri tidak hadir secara otomatis, ia adalah pilihan sadar yang menuntut kejujuran, refleksi, dan tanggung jawab, sebab waktu hanya mengantar manusia menuju batasnya, sementara makna perjalanan ditentukan oleh sejauh mana ia belajar, bertumbuh, dan memaknai setiap amanah yang dijalaninya. (*)

Posted by 


Emoticon