BLANTERVIO103

Mimpi Panjang Mewujudkan Birokrasi 4.0

Mimpi Panjang Mewujudkan Birokrasi 4.0
Kamis, 11 Juli 2019
Oleh : DR Mursalim Nohong, SE, MSi
KPS Magister Keuangan Daerah FEB UNHAS 


Dalam beberapa waktu terakhir organisasi birokrasi dan korporasi disibukkan dengan issu era industri 4.0 (baca four point zero). Dalam perkembangannya era 4.0 merupakan kelanjutan revolusi industri sebelumnya. Seperti diketahui bahwa revolusi industri menjadi salah satu peletak dasar dan penggerak perubahan lingkungan organisasi. Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada Abad 17 di Inggris. Revolusi industri secara fundamental mengubah sistem ekonomi dan tata sosial di Britania Raya sampai Eropa pada jamannya. Jika sebelumnya Eropa masih bertumpu pada sektor pertanian yang fokus pada pemanfaatan tenaga manusia dengan produktivitas rendah.  Dengan geliat revolusi industri segala sesuatunya termasuk konteks budaya mengalami perubahan signifikan dari produktivitas rendah ke produktivitas tinggi. Selanjutnya, tahun 1900-an menjadi awal revolusi industri kedua atau 2.0. Karya monomuntal peradaban era revolusi industri 2.0 ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik. Geliat ekonomi fase ini, beberapa industri di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan, seperti sektor agro dan pertambangan. Jadi, revolusi yang kedua ini terkait dengan teknologi di lini produksi. di era revolusi industri ketiga atau 3.0, saat otomatisasi dilakukan pada tahun 1970 atau 1990-an hingga saat ini karena sebagian negara masih menerapkan industri ini.

Era selanjutnya dikenal dengan era 4.0 dimana manusia telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi (disruptivetechnology) hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan incumbent. Sejarah telah mencatat bahwa revolusi industri telah banyak menelan korban dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa. pada era industri generasi 4.0 ini, ukuran besar perusahaan tidak menjadi jaminan, namun kelincahan perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi dengan cepat. Era industri 4.0 sering pula dikaitkan dengan istilah big data yang berdampak  pada tiga aspek yakni Internet of Things (IoT), artificial intelegence (AI) dan manajemen big data. Implementasi IoT antara lain: media sosial, e-commerce, aplikasi transportasi dan jasa-jasa lain melalui online. Penerapan AI antara lain penggunaan chat bot pada customer service, kendaraan umum tanpa pengemudi sampai robot-robot pembantu. Sedangkan penerapan manajemen big data pada riset customer behaviour oleh beberapa perusahaan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Pada intinya, revolusi 4.0 bertujuan meningkatkan efisiensi proses sehingga suatu bisa lebih cepat, output lebih banyak, dan tentu saja, lebih mudah.

Dengan perubahan radikal pada era 4.0 dibandingkan dengan era-era sebelumnya, maka pelayanan organisasi publik yang dicirikan oleh birokrasi dituntut untuk melakukan perubahan melalui reformasi birokrasi. Reformasi yang tidak hanya mengedepankan aspek investasi atau belanja modal pemerintah daerah dalam bentuk sistim informasi seperti yang selama ini dikenal seperti program aplikasi SIMDA, SIMBADA atau SISKEUDES. Inti dari investasi pelayanan tersebut adalah peningkatan kualitas layanan yang dirasakan oleh masyarakat dicirikan oleh kecepatan pelayanan, akurasi data, sinkronisasi data, one stop service dan aspek efisiensi. Dengan capaian itu, kepercayaan publik kepada pemerintah sebagai tujuan utama reformasi birokrasi tercapai. Indikatornya adalah kenaikan indeks kepercayaan publik kepada pemerintah. Implikasi strategisnya adalah mendorong agar aparatur negara memiliki spesialisasi teknis untuk meningkatkan layanan kepada para pemangku kepentingan. Untuk itu, memperkuat peran gugus tugas untuk penyelesaian suatu proyek dapat memotong rantai birokrasi yang selama ini menjadi keluhan.

Selanjutnya, optimalisasi dan perkuatan koordinasi dan komunikasi internal, tidak ada proses bisnis yang berjalan. Komunikasi internal formal dalam satuan kerja saat ini masih menggunakan paper printed bergeser ke mobile based. Dengan penggunaan sistem aplikasi khusus bahkan mobile based, aplikasi untuk memberikan arahan, menyatakan sikap, memberikan keputusan, atau koordinasi yang melibatkan unit-unit dalam suatu satuan kerja sangat dimungkinkan. Tapi bagaimana dengan sistim administrasi yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah yang masih paper oriented padahal pada saat bersamaan juga menerapkan sistim informasi berbasis aplikasi komputer. Praktik ganda ini tentu masih menjadi tantangan berat sehingga kedepan secara perlahan dan pasti akan lebih memilih untuk berbasis pada era 4.0.

Disiplin dan manajemen PNS yang presence list pun akan tergeser dengan penekanan kerja pada basis output. Isu paling hangat adalah masalah jam kerja yang mengharuskan PNS harus hadir secara fisik kemudian mengisi daftar hadir atau check lock. Jika dikatakan bahwa jam kerja adalah proxy kinerja mungkin ada benarnya meskipun seringkali juga tidak terterima selamanya. Untuk itu, pegawai yang masuk jam kerja, tidak pernah telat atau pulang cepat tidak jadi jaminan berkinerja. Price Waterhouse Cooper (PWC) merilis hasil survei dari 10 ribu orang di Asia, Eropa, Inggris dan Amerika Serikat tentang dunia kerja di masa depan. Salah satu hasilnya adalah generasi millennial menginginkan fleksibilitas tinggi seperti bekerja dari luar kantor dengan bantuan teknologi tetapi target pekerjaan terealisasi sesuai rencana.

Jam kerja yang rigid memang penting untuk unit kerja yang melakukan pelayanan langsung seperti di rumah sakit, kantor pelayanan administrasi serta sentra-sentra pelayanan lainnya. Meski demikian, untuk kantor yang fungsinya sebagai back office, jam kerja yang rigid bisa jadi malah kontra produktif dengan output yang diharapkan. Seiring dengan semangat worklife balance dan pengarusutamaan gender, jam kerja yang lebih fleksibel menjadi tuntutan era industri 4.0, khususnya bagi pekerja wanita dengan status ibu dengan anak balita. Segala hambatan yang sebelumnya mengharuskan pertemuan tatap muka dalam bekerja sekarang sudah bisa diatasi dengan teknologi informasi. Seorang pegawai seharusnya tidak perlu harus ke kantor hanya untuk membuat suatu konsep pekerjaan atau sekedar mengetik sebuah naskah dinas. Prasyaratnya adalah berkas-berkas sudah didigitalkan dalam komputasi awan atau aplikasi data komputer (ADK). Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, diberikan punishment dan reward bagi para pegawai dengan bentuk tunjangan kinerja seharusnya berdasarkan output kinerja pegawai sesuai dengan kontrak kinerjanya dan tidak dipotong dengan potongan absen. Dengan demikian, stress pegawai akibat kemacetan di jalan pun dapat dihindari dan kinerjanya diharapkan bisa meningkat.

Upaya maksimal yang dilakukan oleh pemerintah dalam membangun fondasi birokrasi yang familiar dengan era 4.0 tidak berjalan sendirinya tanpa dukungan sistem dan prosedur, sumberdaya manusia terlatih, lingkungan kerja yang kondusif, prasarana dan sarana yang qualified dan kompatibel. Hasil analisanya bahwa faktor-faktor pendukung tersebut belum bisa menjadi sebuah harmoni dalam orkestra birokrasi 4.0 pemerintah daerah. Masih seringnya didapati data kependudukan yang tidak sinkron, sistim perencanaan dan penganggaran daerah yang berbasis elektronik (paperless) masih berhadapan dengan validasi dan verifikasi fisik (paper printed). Demikian pula dengan istilah tanda tangan berjenjang untuk sebuah administrasi juga masih menjadi gambaran birokrasi. Penolakan penggunaan sistim pemilihan presiden, pimpinan daerah yang berbasis elektronik adalah praktik terbesar dari kesemuan birokrasi 4.0. Ketidaksiapan aturan yang responsif terhadap perkembangan sistim informasi, komunikasi dan teknologi berhasil mematahkan usulan sebuah video sebagai salah satu alat bukti persidangan merupakan bukti ketidaksiapan beriteraksi dengan era industri 4.0. (*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409