BLANTERVIO103

"PARAKANG" Antara Mitos dan Fakta

"PARAKANG" Antara Mitos dan Fakta
Senin, 29 Juli 2019

foto : ilustrasi

Dulu waktu saya masih sekolah dasar dan SMP di kampung, Sidrap, Sulawesi Selatan, ada kepercayaan masyarakat dan keluarga saya pada orang yang punya ilmu hitam (black magic), disebut Parakang. Saya sampai hari ini masih belum percaya ilmu Parakang itu, tapi ada fakta bahwa ada tetangga atau anak keluarga yang meninggal diduga karena diisap rektum (diiso pellona) oleh Parakang. Fakta itu susah dibantah. Mungkin sampai hari ini masyarakat di kampung-kampung Sulawesi Selatan masih percaya adanya makhluk aneh atau jadi-jadian yang dipanggil Parakang. 

Saya coba telusuri di google, saya dapat tulisan yang membahas Parakang. Konon pelaku Parakang itu bermula dari salah berguru atau tidak tuntas ketika menerima ilmu hitam, misalnya perempuan yang ingin selalu kelihatan muda dan cantik, dan dapat jodoh pria kaya dan ganteng. Ilmu hitam ini rupanya menjelma menjadi warisan, turun ke anak putri Parakang. Ketika ia tidak memiliki keturunan perempuan, ilmunya mungkin berhenti?

Konon, ciri-ciri penampakan Parakang, dilihat dari cara jalannya, kaki belakangnya lebih tinggi, kadang berwujud binatang seperti anjing tak berekor atau pohon pisang atau tempat ayam bertelur disebut baka-baka. 

Parakang sudah disepakati sebagai hantu jelmaan yang sangat ditakuti oleh masyarakat di kampung saya. Parakang dituduh gemar mengisap darah dan usus anak-anak (pello) dan ibu yang sedang melahirkan atau mengganggu orang yang sakit. Ciri-ciri orang yang diganggu parakang antara lain menderita sakit perut, keluar darah pada saat buang air (collong pello) yang bisa berujung pada kematian. Masyarakat menyebutnya, “Parakang pakkanre pello atau manusia jadi-jadian pengisap rektum.

Karenanya, jika ada ibu hamil atau melahirkan, atau orang sedang sakit, harus dijaga baik-baik. Cara efektik menghalau penciuman tajam dan mengusir Parakang adalah dianjurkan menempelkan jahe (pesse) memakai peniti (pakkabaja) di dada wanita hamil, bayi, dan orang sakit, atau dengan menaburi garam dapur di sekitar rumah. Wanita juga tidak boleh sembarangan mencuci darah haid karena Parakang dituding pengisab darah.

Konon Parakang ketika menjelang mati (koma atau pemadang), sangat tersiksa, karena ilmunya harus dipindah (ilemba) ke salah satu anak perempuannya sebelum ia meninggal. Jika ini betul ada, betapa celakanya hidup sebagian orang yang telah dijangkiti penyakit sosial, Parakang.

Dampak sosial lain, yang lebih mahal adalah, hampir semua orang di Tanah Bugis tidak ingin menikahkan putranya dengan gadis yang terindikasi memiliki garis keturunan Parakang, karena dikhawatirkan kelak anak-cucu mereka menjelma menjadi Parakang.

Tahun 2017, tepatnya, 18 Mei, ada film Parakang, berdurasi 1 jam 24 menit, digarap oleh sutradara Abdul Rojak. Mungkin film ini diilhami oleh film-film honor di ibukota seperti Jakarta atau judul-judul siaran tivi swasta, seperti uka-uka, nenek lampir, dll. 

Yang pasti, Parakang adalah sebuah fakta sosial di Sulawesi Selatan yang belum bisa dibantah. Jika masih ada, tentu jumlah pelakunya tidak banyak lagi sekarang. Karena makin tinggi ilmu pengetahuan suatu masyarakat, makin rasional orang berpikir dan tidak mudah lagi percaya ilmu hitam Parakang. Parakang oh Parakang.

Tanah Abang, 28 Juli 2019
M. Saleh Mude
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409