BLANTERVIO103

Ambiguity dan COVID 19

Ambiguity dan COVID 19
Senin, 06 April 2020



Oleh : Mursalim Nohong (KPS MKD FEB UNHAS)

Bagi generasi yang eksis pada sekira tahun 1957 atau paling tidak yang suka issu yang bersejarah, maka Corona bukan hal yang baru jika mendengar kembali seperti saat ini hanya saja asosiasinya berbeda. Pada jaman itu, nama atau merek corona menjadi salah satu indikasi ekonomi masyarakat kelas atas. Begitu melegendanya Corona, pihak perusahaan Toyota harus mendesainnya hingga generasi ke 10 dimana setiap generasi hadir dengan fitur dan performance yang selalu progressif.

Melaju hingga 60 tahun kemudian sekira tahun 2020, Corona kembali hadir dengan perwajahan dan lakon yang baru. Corona menyerang dengan lakon sebagai virus yang mematikan dan mengguncang dunia dan peradaban manusia lebih dari 80 negara di dunia. Hingga saat ini telah memakan korban sebanyak 1 juta lebih per  05 April 2020. Tentu bilangan ini sangat pantastis dan tidak pernah diperkirakan jauh hari sebelumnya bahkan untuk negara yang seotoriter dan sehebat USA dan Italia.

Serangan Covid 19 berefek keseluruh segmen sosial dan ekonomi masyarakat dan negara. Signifikansi pengaruh yang sangat besar sampai-sampai membuat pejabat negara harus mengambil tindakan ekstrim dengan merombak struktur dan pondasi anggaran negara hanya untuk melawan virus tersebut. China misalnya, menjadi negara dengan jumlah kasus corona terbesar di dunia membuat negeri Panda ini menggelontorkan dana sebesar 110,48 miliar yuan atau sekitar US$ 16 miliar. Anggaran tersebut saat ini telah dibelanjakan sebanyak 71,43 miliar yuan. Australia saat ini sudah mempersiapkan paket stimulus fiskal untuk melindungi ekonomi terhadap dampak virus corona yang nilainya diperkirakan mencapai US$ 6,6 miliar atau sekitar Rp 94,18 triliun (kurs Rp 14.270). Korea Selatan (Korsel) pun mengumumkan telah menyiapkan anggaran untuk paket stimulus kebijakan senilai 11,7 triliun won (US$ 9,8 miliar) atau sekitar Rp 139,85 triiun begitupula dengan negara lain.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah memutuskan bahwa total pengeluaran tambahan untuk mengelola COVID-19 adalah sebanyak 405,1 triliun rupiah dengan rincian Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan danstimulus Kredit Usaha Rakyat, dan Rp 150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. Dana Stimulus untuk pencegahan tersebut, tentunya belum termasuk anggaran dari pemerintah daerah di Seluruh Indonesia. Hanya saja, penggolontoran dana jumbo untuk melawan COVID 19 tidak saja membuat pemerintah kelimpungan dalam mencari sumber yang tepat tetapi juga menyasar ke dimensi komunikasi publik pemerintah. Pengaruhnya nampak pada kekacauan berpikir dan berkomunikasi beberapa pejabat setingkat menteri dan juru bicara kepala negara.

Simaklah misalnya pernyataan seorang menteri di awal merebaknya virus ini, yang menyatakan bahwa virus Corona tidak perlu dikhawatirkan karena posisi strategis Indonesia yang berbeda dengan negara yang lebih dahulu berjuang melawan virus. Atas dasar apa kira-kira yang bersangkutan menyatakan demikian? Tentu karena data dan informasi yang dimiliki pada saat itu belum banyak dan belum ada korban yang ditimbulkan. Akan tetapi bagaimana dengan setelah berlangsung beberapa hari dan beberapa korban yang terpapar dan kemudian dinyatakan positif? Akankah sang menteri akan bertahan dengan pernyataan yang terdahulu. Data dan waktu yang akan memaksanya untuk membuat pernyataan lain sebagai alibi terhadap pernyataan semula.

Beberapa point yang berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan adalah posisi atau kedudukan dalam organisasi yang berperan dalam menentukan kualitas keputusan yang ditetapkan. Posisi atau kedudukan tersebut adalah pengambil keputusan, penentu keputusan, dan karyawan. Pembuat keputusan (yang berjumlah banyak) dan karyawan bertindak seolah-olah sebagai penentu keputusan. Penentu keputusan juga bertindak seperti layaknya orang kebanyakan yang ikut dalam pengambil keputusan. Dalam menghadapi virus COVID 19, seolah-olah semua pemimpin menghadapi sindrom ambiguity. Ambiguity bisa diartikan bahwa lingkungan organisasi tidak bisa terjelaskan karena informasi yang didapat bisa dimaknai dengan berbagai cara.

Tak ada yang lebih melawan ambiguity dengan agility, yang menyediakan fleksibilitas untuk menyesuaikan perubahan secepat mungkin. Semisal situasi menjadi tak terjelaskan, pimpinan projek (gugus tugas yang memiliki keahlian teknis) harus memiliki fleksibilitas sebagai upaya merespon perubahan dengan cepat. Agility (ketangkasan) akan berimbas pada sikap proaktif, alih-alih reaktif, yang bisa membantu menyediakan strategi alternatif. Pemerintah telah membentuk gugus tugas mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah. Keanggotaanya lengkap dengan latar belakang yang sesuai sehingga akurasi informasi yang disampaikan akan menjadi lebih baik ketimbang yang lain. Akan tetapi seringkali ketidakpercayaan atau keinginan untuk selalu terkesan paling bertanggungjawab dan paling peduli sehingga urusan pihak lain terambil alih. Untuk ukuran sebuah negara seolah ada menteri segala urusan yang seolah memiliki pengetahuan luas namun tidak dalam.

Ada 3 (tiga) model pengambilan keputusan dalam organisasi publik yang dapat dijadikan rujukan yakni model rasional, model incremental, dan model tong sampah, Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan resep atau petunjuk berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Model rasional menekankan pentingnya data dan informasi untuk kemudian dilakukan pengambilan keputusan. Model kedua adala model incremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang dicirikan oleh proses tawar menawar dan kompromi antara berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.

Keputusan-keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel daripada diinginkan. Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan.

Model ketiga adalah model tong sampah yang merupakan antitesa dari model rasional dan model incremental. Para pemikir model ini berusaha untuk memunculkan pemahaman bahwa seringkali para pembuat kebijakan itu sendiri tidak tahu tujuan yang mau dicapai, begitu juga hubungan kausal antara problem dan tujuan kebijakan yang dihadapi. Dalam pandangan March dan Olsen (1976), para aktor hanya mendefinisikan tujuan dan memilih cara secara serta merta, seiring dengan berjalannya proses kebijakan, yang mana hasilnya juga sangat tidak pasti dan tidak bisa diprediksi.

Kepanikan, data dan informasi yang minim, upaya pencitraan paling tidak merupakan 3 (tiga) faktor penyebab munculnya diskursus dan pernyataan yang simpang siur dan berujung pada pengambilan keputusan pemerintah yang ambigu dalam menghadapi permasalahan virus yang sedang pandemic. Pemerintah harus memilih apakah ingin menyelematkan masyarakatnya atau ingin mengejar stabilitas ekonomi yang memang saat ini dan beberapa waktu yang akan datang secara global akan tumbuh lambat atau bahkan menurun dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Ada baiknya mengsubscribe dan membunyikan lonceng untuk pernyataan Presiden Ghana, Nana Akufo Addo, bahwa kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia.  (*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409