BLANTERVIO103

Beda Hari, Tak Beda Iman. Potret Perbedaan Awal Ramadhan 1447 H di Indonesia tahun 2026

Beda Hari, Tak Beda Iman. Potret Perbedaan Awal Ramadhan 1447 H di Indonesia tahun 2026
Minggu, 05 Oktober 2025


Dr. Mursyid Fikri, S.Pd.I.,MH

(Ketua Gugus Kendali Mutu FAI/ Ahli Falak Universitas Muhammadiyah Makassar)

Muhammadiyah secara resmi telah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1447 H jatuh pada hari Rabu, 18 Februari 2026. Keputusan ini konsisten dengan penerapan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), yaitu sistem kalender berbasis prinsip astronomi global. KHGT sendiri telah dicanangkan sebagai upaya menyeragamkan penanggalan hijriah di seluruh dunia, sehingga awal bulan hijriah dapat ditetapkan secara universal dan serentak lintas negara.


Namun, dengan penetapan tersebut, Indonesia harus siap menghadapi potensi perbedaan di tingkat lokal. Sebab pada 17 Februari 2026, posisi hilal di Makassar maupun wilayah lain di Indonesia masih berada pada ketinggian sekitar -1° (minus satu derajat). Artinya, ketika dilakukan rukyat pada sore hari, hilal akan lebih dahulu terbenam di ufuk barat sebelum matahari tenggelam, sehingga secara praktis mustahil terlihat dari langit Indonesia


Dalam kondisi demikian, besar kemungkinan penganut metode rukyat lokal akan melakukan istikmal, yakni menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Konsekuensinya, awal Ramadhan bagi mereka baru akan dimulai pada Kamis, 19 Februari 2026


Dengan begitu, menjelang datangnya bulan suci Ramadhan tahun 2026, umat Islam di Indonesia kembali akan dihadapkan pada perbedaan penetapan awal puasa. Perbedaan ini berakar pada kriteria penentuan hilal, yang dipahami secara berbeda-beda: apakah hilal harus dimaknai sebagai fenomena lokal yang hanya berlaku di wilayah tertentu, atau sebagai fenomena global yang berlaku universal bagi seluruh umat Islam di dunia


- Dinamika di Tengah Perbedaan dalam konteks Keindonesiaan.


Di Indonesia, perbedaan penetapan awal Ramadhan bukanlah hal baru. Sejak lama masyarakat telah terbiasa hidup dengan perbedaan ini. Namun, sikap masyarakat terhadapnya tidak seragam:

1. Sebagian kecil menganggapnya sebagai masalah

Sebagian kecil masyarakat memang menganggap perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri sebagai masalah, karena dinilai berpotensi menimbulkan kebingungan bahkan perpecahan sosial dan keagamaan. Pandangan ini biasanya muncul dari kelompok masyarakat yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap simbol-simbol kebersamaan umat, terutama dalam momentum ibadah yang bersifat kolektif seperti puasa dan salat Idul Fitri. Dari sisi sosiologis, perbedaan waktu berpuasa dan berlebaran dapat menimbulkan ketegangan emosional di tingkat keluarga maupun komunitas. Misalnya, ketika sebagian masyarakat telah merayakan Idul Fitri sementara yang lain masih berpuasa, muncul kesan seolah umat Islam tidak satu suara dalam menjalankan ajaran agamanya. Situasi ini bisa memunculkan pertanyaan dan kebingungan, terutama di kalangan masyarakat awam yang belum memahami dasar ilmiah dan fiqih di balik perbedaan tersebut.


Dari sisi psikologis keagamaan, kelompok yang memandang perbedaan ini sebagai masalah sering kali berangkat dari keinginan kuat akan keseragaman ritual sebagai simbol persatuan umat. Mereka beranggapan bahwa keseragaman waktu ibadah mencerminkan kekuatan dan kekompakan umat Islam, sedangkan perbedaan justru bisa ditafsirkan sebagai lemahnya koordinasi antarormas dan lembaga keagamaan.


Namun, perlu dicatat bahwa pandangan ini muncul bukan semata karena intoleransi terhadap perbedaan, melainkan karena adanya kekhawatiran terhadap efek sosial yang mungkin ditimbulkan seperti munculnya perdebatan publik, kebingungan di media massa, hingga potensi politisasi isu keagamaan. Oleh karena itu, kelompok ini menilai pentingnya ada otoritas tunggal atau kesepakatan bersama antarormas Islam dan pemerintah untuk menghindari disonansi sosial dalam perayaan keagamaan


2. Sebagian kecil lainnya justru memahami, bahwa perbedaan itu adalah wajar dan sahih secara keilmuan serta fiqih


Sebagian kecil masyarakat memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan moderat terhadap perbedaan penetapan awal bulan Ramadhan. Mereka menyadari bahwa perbedaan tersebut bukanlah pertentangan prinsip, melainkan konsekuensi logis dari perbedaan metode ijtihad dan pendekatan ilmiah dalam memahami tanda-tanda astronomis (hilal) yang dijadikan dasar penentuan awal bulan hijriah.


Dari perspektif fiqih, perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan memang telah ada sejak masa klasik Islam. Nabi Muhammad ﷺ sendiri memberi ruang bagi perbedaan ini dengan sabdanya: “Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihat hilal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat tersebut membuka ruang interpretasi: apakah “melihat” hilal itu harus secara lokal (ru’yah setempat) atau boleh global (bila sudah terlihat di tempat lain di bumi). Karena perbedaan penafsiran inilah muncul dua pendekatan besar yang sama-sama sah secara syar’I yakni rukyat dan hisab.


Dari sisi keilmuan, kelompok ini memahami bahwa setiap metode memiliki landasan rasional dan ilmiah. Rukyat mengandalkan observasi empiris yang sesuai dengan tradisi fiqih klasik, sedangkan hisab dan pendekatan global memanfaatkan kemajuan sains astronomi modern. Kedua metode ini tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam


Secara sosiologis dan teologis, kelompok ini menilai bahwa perbedaan bukanlah sumber perpecahan, melainkan cerminan dinamika intelektual umat Islam. Mereka menganggap keberagaman pendapat sebagai rahmat, sebagaimana kaidah fiqih yang masyhur: “Ikhtilāf al-‘ulamā’ rahmah” perbedaan pendapat di antara ulama adalah rahmat. Dengan demikian, yang terpenting bukan keseragaman tanggal, melainkan kesatuan niat dan tujuan ibadah. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, sikap kelompok ini sangat penting karena berperan sebagai penengah dan peredam potensi ketegangan sosial. Mereka menempatkan perbedaan awal Ramadhan dalam kerangka akademik dan spiritual, bukan emosional. Pemahaman semacam ini menunjukkan kedewasaan beragama: bahwa perbedaan pandangan ulama adalah bagian dari kekayaan intelektual Islam yang seharusnya dihormati, bukan dipertentangkan


3. Sebagian lain bersikap pragmatis, memilih mengikuti keputusan resmi pemerintah atau ormas masing-masing tanpa menjadikannya isu besar


Sebagian masyarakat menunjukkan sikap pragmatis dan realistis dalam menyikapi perbedaan penetapan awal Ramadhan. Mereka memilih untuk mengikuti keputusan resmi pemerintah atau organisasi keagamaan (ormas) yang menjadi panutannya, tanpa menjadikan perbedaan tersebut sebagai perdebatan atau isu yang perlu diperbesar. Sikap ini lahir dari pandangan bahwa substansi ibadah lebih penting daripada perdebatan teknis penentuan waktu. Bagi mereka, inti dari puasa Ramadhan adalah ketaatan, keikhlasan, dan ketenangan batin dalam beribadah bukan pada tanggal dimulainya semata. Dengan demikian, kepastian dan kejelasan otoritatif lebih diutamakan daripada mencari pembenaran atas perbedaan.


Dari sisi psikologis dan sosial, sikap pragmatis ini mencerminkan kebutuhan akan stabilitas dan ketertiban sosial. Masyarakat dengan kecenderungan seperti ini cenderung menghindari konflik, memilih jalur aman, dan menempatkan otoritas keagamaan sebagai sumber legitimasi yang dapat diandalkan. Mereka percaya bahwa selama keputusan tersebut diambil oleh lembaga yang kredibel seperti pemerintah melalui Kementerian Agama atau ormas besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama maka keputusan itu sah untuk diikuti


Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, sikap pragmatis justru berperan penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan kerukunan umat. Kelompok ini menjadi “penengah alami” di tengah perbedaan pandangan yang kerap muncul di ruang publik. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan apakah hilal dilihat secara lokal atau dikalkulasikan secara global, selama keputusan tersebut memberikan kepastian dan ketenangan dalam menjalankan ibadah. Dari perspektif fiqih sosial, pragmatisme ini juga dapat dipandang sebagai bentuk ta’abbudīyah ketaatan dalam bingkai kepercayaan kepada otoritas yang dianggap memiliki kapasitas ilmu. Sikap ini menunjukkan kedewasaan dalam beragama: tidak semua umat harus memahami detail astronomi atau hisab, tetapi cukup berpegang pada keputusan lembaga yang berwenang agar ibadah berjalan dengan tenang dan serempak di lingkup komunitasnya.


Dengan demikian, meskipun perbedaan penentuan awal Ramadan kerap terjadi, masyarakat Indonesia pada umumnya telah terbiasa menghadapi dinamika tersebut. Perbedaan ini tidak memengaruhi keimanan dan keyakinan umat Islam untuk tetap menjalankan ibadah puasanya dengan penuh kekhusyukan di bulan suci. (*) 

Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409