Di ruang kelas yang dulu penuh wibawa, kini banyak guru memilih menunduk. Mereka bukan lagi sosok yang disegani, tapi sering dianggap sekadar pelengkap sistem. Dunia pendidikan seakan berubah menjadi panggung serba salah bagi para pendidik yang ingin membentuk karakter dan kedisiplinan, tapi terbelenggu oleh aturan yang kian mengekang.
Menjadi guru hari ini bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang bertahan dari ketakutan. Takut salah menegur, takut disalahpahami, bahkan takut dijerat hukum hanya karena ingin mendisiplinkan murid. Padahal dulu, sebuah jeweran atau tamparan ringan bukanlah bentuk kekerasan, melainkan pesan kasih sayang agar anak tahu batas dan belajar menghormati.
Namun zaman berubah cepat. Anak-anak kini dengan enteng berkata, “Tidak belajar pun tetap naik kelas. Nilai tetap tinggi.” Kalimat itu menjadi potret suram dunia pendidikan kita. Banyak siswa tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka tetap akan lulus, tetap akan mendapat nilai baik, karena guru dipaksa oleh sistem untuk “memastikan semua berhasil”.
Padahal sejatinya, pendidikan bukan hanya soal membuat anak naik kelas. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses membentuk manusia yang tahu batas, menghargai aturan, dan siap menghadapi kehidupan. Jika semua itu tak lagi boleh diajarkan dengan tegas, maka jangan heran jika kita sedang membangun generasi yang “naik kelas” di atas fondasi kebodohan.
Fenomena ini menciptakan generasi yang bermental instan, tidak belajar pun merasa bisa, tidak hormat pun merasa benar. Mereka tumbuh dalam kenyamanan semu yang melahirkan rasa acuh terhadap usaha dan kedisiplinan. Disiplin dianggap kekerasan, teguran disebut pelecehan, dan konsekuensi dianggap pelanggaran hak.
Ironinya, ketika guru mencoba bersikap tegas, mereka justru dipermasalahkan. Kasus kepala sekolah yang menampar siswanya karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah adalah contoh nyata. Niat mendidik dengan tegas justru dibalas dengan sanksi dan kecaman. Sementara siswa yang bersalah malah mendapat simpati publik. Inilah wajah pendidikan kita hari ini, guru dihukum karena mendidik, murid bebas meski melanggar.
Di tengah situasi itu, kurikulum terus berganti nama dan bentuk, dari KTSP, K-13, hingga Kurikulum Merdeka. Tapi sekeras apapun usaha pembaruan, semua akan sia-sia jika aturan dasarnya tetap lembek. Kurikulum sehebat apapun tak akan melahirkan manusia berkarakter bila akhlak tidak menjadi pondasi utama.
Pendidikan sejatinya bukan hanya untuk mencerdaskan otak, tetapi juga menumbuhkan budi pekerti dan akhlak mulia. Inilah yang kini mulai hilang. Anak-anak tahu rumus matematika, tapi lupa sopan santun. Mereka mahir teknologi, tapi miskin empati. Padahal, akhlak adalah inti dari pendidikan sejati, fondasi bagi semua pengetahuan dan keterampilan. Tanpa akhlak, kepintaran hanya akan melahirkan kesombongan.
Bagi banyak guru, mendidik kini seperti berjalan di ladang ranjau. Salah sedikit, bisa meledak. Mereka ingin anak-anak cerdas dan berakhlak, tapi sistem memaksa mereka untuk sekadar “mengalir”. Di tengah situasi ini, yang hilang bukan hanya wibawa guru, tapi juga arah pendidikan itu sendiri.
Karena itu, sudah saatnya semua pihak, pemerintah, orang tua, dan masyarakat, berhenti memanjakan anak atas nama “perlindungan”. Anak perlu dilindungi, tetapi juga harus dibentuk. Guru perlu diawasi, tetapi juga harus diberi ruang untuk mendidik dengan ketegasan.
Pendidikan tidak akan pernah berhasil jika guru terus dibungkam dan murid terus dimanjakan. Disiplin bukanlah kekerasan, tapi bentuk cinta. Dan membentuk akhlak bukanlah hukuman, tapi warisan abadi bagi bangsa.
Jika kita terus membiarkan sistem yang membuat guru serba salah ini, maka kelak kita bukan hanya kehilangan generasi cerdas, tapi juga kehilangan generasi berakhlak. Dan ketika itu terjadi, sekolah tak lagi menjadi tempat menyalakan cahaya ilmu, melainkan sekadar ruang gelap yang menumbuhkan manusia tanpa arah.
Penulis : Darwis Junudi

Posted by 

Emoticon