BLANTERVIO103

Eutanasia Pasar Tradisional

Eutanasia Pasar Tradisional
Sabtu, 13 Juli 2019
Oleh : DR Mursalim Nohong, SE, MSi
KPS Magister Keuangan Daerah FEB UNHAS 

Eutanasia dalam ilmu kedokteran dan ilmu hukum dikenal sebagai praktik pencabutan kehidupan makhluk hidup (seperti manusia atau hewan) dengan cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit minimal yang dilakukan dengan cara memberikan suntikan mematikan. Dalam pandangan tertentu dikenal eutanasia positif dan eutanasia negatif. Eutanasia positif terjadi ketika seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit tetapi hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Baik eutanasia positif maupun negatif pada prinsipnya berakhir pada sebuah peristiwa kematian hanya saja proses dan instrumennya yang berbeda. 

Fenomena “kematian” pasar tradisional di tengah gempuran pasar modern bisa diibaratkan sebagai sebuah proses eutanasia dalam struktur perekonomian yang cenderung mengejar pertumbuhan. Secara kuantitatif, berdasarkan hasil Survei Profil Pasar Tahun 2018, jumlah pasar tradisional di Indonesia sebesar 14.182 atau 88,52 persen dari seluruh pasar di Indonesia dan toko atau pasar modern jumlahnya lebih sedikit yaitu sebanyak 1.131 toko atau 7,06 persen dari seluruh pasar di Indonesia. Pusat perbelanjaan berjumlah 708 atau 4,42 persen. Hanya saja dari sisi pertumbuhan pasar tradisional turun.  Data Asparindo (2010) misalnya menunjukkan bahwa pasar rakyat tumbuh melambat -8,1% sementara pasar modern tumbuh 31,4%. Meskipun jumlah pasar tradisional lebih besar dibandingkan dengan pasar atau toko modern sesungguhnya belum bisa dijadikan sebagai dasar atau indikator bahwa pasar tradisional lebih berdaya dan berdaulat.

Faktanya, lagi-lagi pemerintah daerah lalai dalam membentengi pasar tradisional terhadap serangan massif dari pasar modern yang modalnya sebagian besar dimiliki oleh seseorang pelaku usaha besar di Indonesia yang juga telah memiliki beberapa perusahaan disektor hulu. Akan tetapi dibalik itu, kepemilikan ini menunjukkan adanya upaya untuk mengeskploitasi pasar secara tidak langsung. Kalau dahulu kala ada larangan pemerintah bagi perusahaan besar tidak menguasai sektor hulu hingga hilir. Akan tetapi sekarang, jika dilusuri keterkaitan antara sektor hilir seperti indomaret dengan sektor hulu seperti indofood bisa jadi akan ditemukan sebuah garis penghubung antar keduanya. Garis keturunannya adalah bogasari memproduksi tepung, diolah menjadi mie instan oleh indofood dengan menggunakan minyak goreng yang dihasilkan dari perusahaan perkebunan sendiri, didistribusikan oleh indogrosir, dijual langsung di indomaret termasuk di dalamnya kentucky fried chicken. Tidak berhenti sampai disitu, uang yang diperoleh dari transaksi bisnis sistim konglomerasi tersebut disimpan di Bank Central Asia yang notabenenya juga anak perusahaan.

Tidak berhenti sampai disini, eutanasia toko atau pasar tradisional juga dapat dilihat pada praktik lainnya. Kecenderungan akhir-akhir ini, di beberapa daerah menunjukkan bahwa dalam sebuah wilayah atau blok (pada kesempatan ini diambil contoh kompleks perumahan tertentu) dengan memerhatikan pemandangan sepanjang jalan yang kira-kira jaraknya 3 (tiga) kilometer akan dengan mudah ditemukan secara rerata jarak antara satu toko modern dengan toko modern lainnya (rivarly competition, Alfamart, Indomart ataupun alfamidi/tiga raksasa kampung) tidak lebih dari 200 meter sehingga toko-toko kecil atau toko kelontong mati dengan sendirinya. Peristiwa ini merupakan penggambaran dari eutanasia negatif yang justru dilakukan oleh pemerintah daerah karena melakukan pembiaran dengan alasan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah meskipun bertentangan dengan peraturan daerah yang telah dibuat dengan anggaran daerah yang sangat besar.

Dalam Permendagri Nomor 68 Tahun 2012 tentang Waralaba untuk Jenis Usaha Toko Modern memberikan batasan apabila terdapat gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri paling banyak 150 gerai maka harus diwaralabakan paling sedikit 40% dari jumlah yang ditambahkan. Selain itu di beberapa daerah juga melakukan pembatasan melalui perda/pergub. Saat ini (Tahun 2018) toko modern menurut data dari Badan Pusat Statistik berjumlah 1.131 unit dengan jumlah toko modern terbanyak dari Jawa Barat (232 unit 27 Kabupaten/Kota), Jawa Tengah (161 unit 35 Kabupaten/Kota), dan DKI Jakarta (52 unit 7 Kota Administratif). Sulawesi Selatan (20 unit 24 Kabupaten/Kota) meskipun kecil jumlahnya dibandingkan dengan daerah lainnya tetapi cukup menyita wilayah kerja toko-toko atau pasar tradisional.

Banyak hal yang telah membuat pasar tradisional mulai kehilangan tempat di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Perilaku konsumen semakin demanding karena konsumen semakin memahami haknya, sedangkan di sisi lain konsumen hanya memiliki waktu dan kesempatan yang semakin terbatas untuk berbelanja. Perubahan perilaku konsumen yang cenderung demanding menyebabkan mereka beralih ke pasar modern. Pasar-pasar modern dikemas dalam tata ruang yang apik, terang, lapang, dan sejuk. Pengalaman berbelanja tidak lagi disuguhi dengan suasana yang kotor, panas, sumpek, becek, perilaku dan tempat parkir yang tidak mendukung.

Pasar tradisional dengan cirinya waktu beroperasi terbatas, umumnya hanya beroperasi pada pagi hari sampai siang dan tidak buka sampai sore atau malam hari meski dibeberapa daerah telah melakukan penyesuaian. Para wanita yang bekerja biasanya memanfaatkan waktu istirahat makan siang untuk sekaligus berbelanja kebutuhan keluarga di pasar modern yang dekat dengan lokasi kerjanya meskipun saat ini telah bergeser pula ke toko modern. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan semakin meningkat dimana pasar tradisional tidak menjadi pilihan karena diduga tidak steril, kurang dapat ditangkap oleh pengelola pasar tradisional yang tidak begitu memerhatikan kebersihan pasar dan fasilitas pasar. Kehadiran pasar-pasar modern membuat belanja menjadi suatu wisata keluarga yang memberikan pengalaman tersendiri.

Tahapan yang diperlukan oleh pasar tradisional untuk survive dan meningkatkan daya saing ditengah kompetisi bisnis ritel (representasi pasar atau toko modern) menurut analisis masa depan terhadap organisasinya dalam memunculkan kegiatan ekonomi yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah (praktik dan strategik) adalah kemampuan daya tanggap, kelincahan, kemampuan belajar, kompetensi modal insani dan kreativitas operator pasar tradisional sebagai bagian dari keunggulan organisasi belum menghasilkan kapasitas, fleksibilitas dan keragaman yang luas. Sebagai akibatnya pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek serta bau, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah.

Sudah waktunya pemerintah daerah bertindak tegas sesuai dengan peraturan yang ada agar ruang gerak atau operasi pasar tradisional masih bisa dipertahankan. Pembinaan kepada para pelaku pasar tradisional khususnya mengenai aspek hygienitas dan praktik-praktik bisnis profesional, pelayanan yang lebih elegan dan nilai-nilai yang sejak lama identik dengan pasar tradisional misalnya hubungan emosional dari proses tawar menawar. Sadar atau tidak hanya pasar tradisional yang masih mempertahankan kelangsungan hidup tukang becak (sebutan lain bentor), kuli panggul di pasar, tukang parkir, pemulung, kebersihan yang kesemuanya merupakan aktivitas dari masyarakat menengah ke bawah.(*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409